2.3 FILSAFAT KONTEMPORER
Filsafat Barat kontemporer (abad XX) sangat heterogen.
Hal ini disebabkan antara
lain karena profesionalisme yang semakin besar. Banyak filsuf adalah spesialis
bidang khusus seperti matematika, fisika, psikologi, sosiologi, atau ekonomi.
Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa pada abad
XX pemikiran- pemikiran lama dihidupkan kembali. Misalnya, Neotomisme,
Neokantianisme, Neopositivisme, dan sebagainya. Di masa ini Prancis, Inggris,
dan Jerman tetap merupakan negara-negara yang paling depan dalam filsafat.
Umumnya, orang membagikan filsafat pada periode ini menjadi filsafat kontinental
(Prancis dan Jerman); dan filsafat Anglosakson (Inggris).
Aliran-aliran
terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad XX adalah pragmatisme,
vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis (filsafat bahasa),
strukturalisme, dan postmodernisme.
2.3.1
PRAGMATISME
Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah apa
yang akibat- akibatnya bermanfat secara praktis. Jadi, patokan pragmatisme
adalah manfaat bagi kehidupan praktis. Kebenaran mistis diterima, asal
bermanfaat praktis. Pengalaman pribadi yang benar adalah pengalaman yang
bermanfaat praktis. Aliran ini sangat populer di Amerika Serikat.
Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah William James (1842-1910) dan John Dewey
(1859-1952).
2.3.2
VITALISME
Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup
digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik.
Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta
industrialisasi, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis. Tokoh
terpenting vitalisme adalah filsuf Prancis, Henri Bergson (1859- 1941).
2.3.3
FENOMENOLOGI
Fenomenologi berasal dari kata fenomenon yang berarti
gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah aliran yang membicarakan
fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Fenomenologi dirintis oleh Edmund
HusserI (1859-1938). Seorang fenomenolog lainnya adalah Max Scheler (1874
- 1928).
2.3.4
EKSISTENSIALISME
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang
segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada
di dunia. Cara berada manusia di dunia berbeda dengan cara berada makluk-makluk
lain. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya, tapi manusia sadar
bahwa dia berada di dunia. Manusia sadar bahwa ia bereksistensi. Itulah
sebabnya, segalanya mempunyai arti sejauh berkaitan dengan manusia. Dengan kata
lain, manusia memberi arti kepada segalanya. Manusia menentukan
perbuatannya sendiri. Ia
memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi.
Jadi, eksistensialisme berpandangan bahwa pada manusia
eksistensi mendahului esensi (hakekat), sebaliknya pada benda-benda lain esensi
mendahului eksistensi. Manusia berada lalu menentukan diri sendiri menurut
proyeksinya sendiri. Hidupnya tidak ditentukan lebih dulu. Sebaliknya, benda-
benda lain bertindak menurut esensi atau kodrat yang memang tak dapat
dielakkan.
Tokoh-tokoh terpenting eksistensialisme adalah Martin
Heidegger (1883- 1976), Jean-Paul Sartre (1905-1980), Kari Jaspers (1883-1969),
dan Gabriel Marcel (1889-1973). Soren Kierkegaard (1813-1855), Friedrich
Nietzsche (1844- 1900), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874-1948) juga sering
dimasukkan ke dalam kelompok filsuf-filsuf eksistensialis.
Patut dicatat bahwa sebetulnya di antara para filsuf
eksistensialis terdapat perbedaan. Sebagian mereka bahkan tidak mau
dikelompokkan sebagai filsuf eksistensialis. Akan tetapi mereka semua mempunyai
kesamaan pandangan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia konkret,
manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini mereka berpendapat bahwa
pada manusia eksistensi mendahului esensi (Fuad Hassan, 1985: 7-8). Sebagian
filsuf eksistensialis adalah ateis, seperti Jean-Paul Sartre, tetapi ada yang
tetap mengakui Allah, seperti Gabriel Marcel.
Jean-Paul Sartre
adalah satu-satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada titik
yang sangat ekstrim. Dia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali
tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan: "Manusia bebas. Manusia
adalah kebebasan." Dalam sejarah filsafat tidak pernah ada ungkapan begitu
ekstrim tentang kebebasan. Sartre tidak memandang kebebasan sebagai salah satu
ciri manusia, tapi menganggap manusia sebagai kebebasan. Ini ada kaitan dengan
pandanganaya tentang eksistensi (cara berada). Sartre
membedakan dua macam cara
berada, yakni etre-en-soi (berada dalam diri sendiri) dan etre-pour-soi (berada
untuk diri). Etre-en-soi adalah cara berada yang deterministik. Itu merupakan
cara berada benda-benda mati, hewan, dan tumbuhan. Pohon, misalnya, tumbuh
sebagai pohon jenis tertentu, dengan bakat tertentu. Sampai kapan dan di
manapun pohon itu akan tetap yang sama, tidak akan meninggalkan kodrat. Batu,
dari kodratnya telah ditentukan sebagai benda yang keras, dan sebab itu ia akan
tetap seperti itu sampai kapanpun. Jadi, cara berada ini sudah ditentukan
kodrat. Sebaliknya, Etre-pour-soi adalah cara berada khas manusia. Artinya,
manusia ada dulu baru menentukan diri sendiri. Dirinya tidak pernah ditentukan
lebih dulu. Manusia ada begitu saja, dan baru sesudah itu manusia menentukan
apa yang harus dilakukannya. Hanya manusia dapat mengatakan "tidak",
benda- benda lain selalu berada menurut esensi atau kodrat yang telah
ditentukan. Karena tidak ditentukan sebelumnya, maka manusia bertanggungjawab
terhadap keberadaannya.
Konsep kebebasan
seperti ini membawa Sartre kepada penolakan akan adanya Allah. Menurut Sartre,
jika ada Allah maka manusia tidak bebas lagi, sebab Allah sudah menentukan
esensi manusia. Pisau yang dibuat tukang, kata Sartre, sudah ada dalam konsep
tukang yang membuatnya sebelum pisau itu hadir dalam bentuk tertentu. Dalam
pikirannya, tukang sudah memikirkan bahwa
pisau itu
terbuat dari baja atau besi, tajam, berujung runcing, diberi gagang tanduk
rusa, digunakan untuk memotong daging atau mencukur rambut, dan ciri-ciri
lainnya. Itulah esensi pisau yang sudah ada di kepala tukang sebelum pisau itu
betul-betul hadir dalam wujudnya yang tertentu.
Kalau ada Allah,
kata Sartre, maka Allah pasti sudah mengetahui esensi manusia. Itu berarti,
manusia tidak bebas lagi. Manusia akan melakukan apa yang sudah ditentukan
Allah itu. Tapi itu tidak mungkin sebab pada manusia eksistensi mendahului
esensi. Sebab itu tidak ada Allah.
Menurut Sartre,
manusia tidak mempunyai kodrat. Ia ada begitu saja, baru sesudahnya ia membuat
kodratnya sendiri. Mengapa? Karena memang tidak ada Allah yang mengkonsepkan
kodrat itu.
Manusia tidak
mempunyai kewajiban terhadap suatu yang lain, kecuali dirinya sendiri.
Seandainya Allah ada, manusia kehilangan martabat manusianya. Maka mustahil
bahwa Allah dan manusia ada berdampingan. Manusia yang hanya merupakan alat di
tangan Allah, kata Sartre, bukan manusia bebas.
Dalam bukunya
Existentialism and Humanism Sartre memberikan tanggapan kepada orang-orang yang
mengatakan bahwa eksistensialisme adalah ateisme. Sartre mengatakan bahwa
eksistensialisme sama sekali bukan ateisme yang menolak adanya Allah.
Seandainya Allah ada, itu samasekali tidak bakal mengubah apa-apa, kata Sartre.
2.3.5
FILSAFAT
ANALITIS
Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sejak
sekitar tahun 1950. Filsafat analitis disebut juga filsafat bahasa. Filsafat
ini merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme di
lnggris.Para penganutnya menyibukkan diri dengan analisa bahasa dan
konsep-konsep.Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah Bertrand Russel, Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
2.3.6
STRUKTURALISME
Strukturalisme muncul di Prancis tahun 1960, dan
dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi. Strukturalisme pada
dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama
dan tetap. Maka kaum strukturalis menyibukkan diri dengan menyelidiki
struktur-struktur tersebut. Tokoh-tokoh terpenting strukturalisme adalah Levi
Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucoult.
2.3.7
POSTMODERNISME
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme
dengan segala dampaknya. Seperti diketahui, modernisme dimulai oleh Rene
Descartes, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian
mengabadikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Tokoh yang dianggap
memperkenalkan istilah postmodern (isme) adalah Francois Lyotard, lewat bukunya
The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984).
Modernisme mempunyai gambaran dunia sendiri yang
ternyata melahirkan berbagai dampak buruk, yakni Pertama, obyektifikasi alam
secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena yang mengakibatkan krisis
ekologi. Dampak ini disebabkan oleh pandangan dualistiknya yang membagi kenyataan
menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia, dsb. Kedua, manusia
cenderung menjadi obyek karena pandangan modern yang obyektivistis dan
positivistis. Ketiga, ilmu-ilmu positif-empiris menjadi standar
kebenaran tertinggi. Keempat, materialisme. Kelima, militerisme. Keenam,
kebangkitan kembali tribalisme (mentalitas yang mengunggulkan kelompok sendiri.
Istilah postmodern di luar bidang filsafat muncul
lebih dulu. Rudolf Pannwitz, dalam bukunya tentang krisis kebudayaan Eropa
tahun 1947 menggunakan istilah manusia postmodern yang ciri-cirinya sehat,
kuat, nasionalistis, religius, yang muncul dari nihilisme dan dekadensi
nihilisme Eropa. Ia merupakan cermin kemenangan atas kekacauan yang menjadi
ciri khas modernitas.
Dalam perspektif filosofis istilah postmodern baru
digunakan tahun 1979, dan bukan didorong oleh postmodern di Eropa yang
berlatarbelakang arsitektur, melainkan dirangsang oleh diskusi tentang problem
sosiologis masyarakat postindustri di Amerika Utara. Dalam konteks ini
Jean-Francois Lyotard membuat laporan untuk Dewan Universitas Quebec tentang
perubahan-perubahan di bidang pengetahuan pada masyarakat industri maju karena
kemajuan teknologi informasi baru. Laporan itu terbit dalam bukunya yang
disebut di atas tahun 1979. Laporan inilah yang menjadi titik tolak
diskusi-diskusi filosofis tentang postmodernisme (Jurnal Filsafat, 1990: 9-10).
Ciri-ciri terpenting postmodernisme adalah (1)
relativisme, dan (2) mengakui pluralitas. Pada modernisme, pengetahuan
merupakan suatu kesatuan yang didasarkan pada cerita-cerita besar (grand
narratives) yang menjadi ide penuntun sampai ke penelitian-penelitian paling
mendetil. Tapi postmodernisme merelatifkan semuanya. Menurut para postmodernis,
tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Tiap bagian mempunyai keunikan
sehingga tak dapat menerima pemaksaan ke arah penyeragaman. Dengan demikian,
postmodernisme mengakui pluralitas dan hak hidup individu atau unsur lokal
(Sugiharto: 1996, 30-33)
Tokoh-tokoh postmodernisme terpenting, selain Lyotard,
adalah Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Michel Foucoult.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar